Senin, 22 November 2010

Desentralisasi Regional


Kebijakan desentralisasi regional merupakan sebuah kebijakan yang baru saja dicanangkan oleh para Presnas dan disepakati oleh regional dalam Rakernas 2010 di kampus UMS Solo kemarin. Desentralisasi dalam akuntansi sektor publik salah satunya dimaknai sebagai pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah dalam mengembangkan daerahnya sesuai tujuan bernegara dan berbangsa (Djazuli, 2009), maka jika dipindahkan konteksnya dalam regional madani berarti FoSSEI Nasional memindahkan sebagian wewenangnya dalam sejumlah kebijakan pada regional untuk dikembangkan sesuai dengan karakteristik dan kulturnya.

Dalam tiap sidang dengan teman-teman koreg, isu-isu yang sebenarnya menurut saya kurang produktif dan cenderung memanaskan ruang sidang di tiap acara nasional, dan kontan yang paling sering keluar menjadi bahan interupsi adalah sejumlah kebijakan nasional yang diturunkan dari nasional ke regional dengan argumentasi bahwa tiap regional memiliki visi dan kultur yang berbeda-beda. Seolah-olah ingin menunjukkan tidak ada yang spesial kebersamaan kita sebagai sebuah keluarga besar para iron stock ekonomi islam Indonesia.

Disini, kebijakan regional yang harus tersisih ketika berhadapan dengan KSEI yang telah mapan dan telah langganan keluar sebagai juara temilnas dan belum lagi anggapan lama bahwa regional tidak berdaya menghadapi kebijakan-kebijakan fossei nasional yang dianggap tidak sesuai dengan keadaan regional.

Maka jadilah desentralisasi ini dianggap sebagai alternatif. Mencoba mengakhiri sejumlah konflik yang dikhawatirkan membesar dan berdampak komprehensif terhadap ketahanan fundamental kekuatan FoSSEI sebagai pergerakan mahasiswa ekonomi Islam yang dibingkai dengan pilar dakwah, ukhuwwah dan ilmiah. Tetapi persoalannya tidak semudah membalik telapak tangan. Membagi sejumlah regional menjadi beberapa cluster memang strategis selain hemat effisiensi pemetaan kebijakan FoSSEI tetapi kita akan sekali lagi melihat KSEI yang dianggap superior itu begitu mendominasi regional. Dan inilah persoalan klasik pergerakan mahasiswa dimanapun.

Sahabat saya, Akhina Oby Reza Helmi, seorang aktivis da’wah kampus di Trisaksti memaparkan banyak gejala yang biasanya menjangkiti pergerakan mahasiswa berskala nasional dan mempunyai jaringan se-nusantara. Di antaranya pergerakan mahasiswa harus mengantisipasi dominasi satu kampus atas jangankan satu regional, bahkan bisa jadi mendominasi satu cluster jika tidak ada perhatian lebih regional untuk KSEI. Akhirnya benar, KSEI lebih merasa nyaman bicara langsung dengan Presnas. Karena instrumen-instrumen akar rumput seperti komsat dan bahkan regional tidak mampu memberikan perhatian penting; "Bahwa saya baru belajar, please bimbing saya!”

Tiba-tiba saya jadi teringat dengan apa yang pernah ditulis oleh Ust Anis Matta dalam bukunya “Dari Gerakan ke Negara”. Sedikit orang yang tahu dan faham bahwa sedikit banyak Ust Anis Matta banyak mengambil inspirasinya dari seorang ulama pergerakan yang sudah hafal medan dakwah dan sempat mengalami tribulasi di rezim yang authoritarian.

Ust Anis Matta menulis “Hanya kerendahan hati yang dapat membuat setiap orang mampu bekerja sama. Tapi hanya iman dan keyakinan pada risalah itu yang dapat membantu setiap orang memiliki kerendahan hati yang memadai.” Kuncinya ada di iman, kata Ust Anis Matta, tetapi untuk menstabilkan sistem dan mencegah dampak komprehensif adalah bagaimana menerjemahkan iman dan kerendah hatian itu dalam tataran filosofis tiap kebijakan yang ditetapkan oleh nasional dan siapa yang paling dirugikan dari tiap kebijakan ini.

Ala kuli hal, kebijakan desentralisasi sebenarnya diambil untuk memberdayakan regional sesuai dengan kreatifitasnya masing-masing, nasional punya framework, maka para koreg itulah yang harus cerdas menerjamahkan framework tersebut dalam kerja-kerja berkesinambungan mengkoordinasikan KSEI-KSEI di bawah regional. Nasional punya kebijakan umum, maka para koreg itulah yang harus punya bashirah bahwa ini layak atau tidak untuk diterapkan di regional saya. Desentralisasi di negeri kita lebih banyak borosnya dan inefiesiensi, karena bukan empowerment yang menjadi substansinya !!

Jakarta, 14 RayaAgung 1431 H
Willy Mardian (STEI Tazkia)
  • Share On Facebook
  • Digg This Post
  • Stumble This Post
  • Tweet This Post
  • Save Tis Post To Delicious
  • Float This Post
  • Share On Reddit
  • Bookmark On Technorati
Blog Gadgets

3 comments:

ERWINNOMIC mengatakan...

assalamu'alaikum.
saya terinspirasi dengan tulisan akh willy ini. karena waallahu a'lam dengan kondisi regional lain, yang sedikit banyak disinggung dlam tulisan ini. selebihnya saya sepakat. tapi ada hal yang setidaknya saya sampaikan, bahwa regional dalam hal ini memfungsikan dirinya sebagai mediator antara pimpinan puncak (Presnas) dan lapisan garda depan (frontliner)yaitu KSEI2. saya sudah sampaikan pada rekan2 KSEI di regional jabodetabek saat rakereg dan beberapa kesempatan silaturahim dengn KSEI. Bahwa regional akan menampung seluruh ide dan gagasan KSEI secara kolektif yang kemudian diformulasikan menjadi beberapa agenda2 strategis FoSSEI di tingkat regional(Bootom up). silahkan tentukan dan tetapkan arah regional, dengan mengacu pada visi nasional. kami di regional berada pada dua "tekanan" apakah bisa mengeksekusi rencana2 strategis FoSSEI hingga memobilisasi kerja2 lapangan (KSEI) dan tuntutan2 rasionalitas bersama realisme2 KSEI2. sebab, KSEI sebagian besar sudah punya arahnya sendiri. punya coraknya sendiri. dan punya keunikannya sendiri. menjadi tidak bijak memang apabila dipaksakan untuk adanya penyeragaman. saya sendiri lebih sepakat bahwa penyeragaman hanya pada wilayah2 visi dan rencana strategis saja. selebihnya biarkan KSEI menentukan nasibnya sendiri dngan tetap mengacu pada visi besar itu. sebab KSEI sebaik apapun manajemen dan keunggulannya, tetap saja sebagai eksekutor dalam bentuk gelombang gerakan ekonomi islam tetap tidak akan pernah mewujud. ibarat bisnis. ia akan mencapai kapasitas maksimalnya, dan setelahnya cenderung stag. lalu sisanya adlah rutinitas2 semu jika tidak diramu dengn sinergi kerja antara KSEI2 lainnya.
terakhir, saya sendiri berharap distribusi kerja bisa dipahami dari lapisan terdepan(KSEI) hingga pusat gerakan (Presnas). wilayah2 strategis dan manajemen serahkan saja pada Pimpinan2 puncak. Manajemen dan operasional serahkan saja pada Regional2. Operasional, Teknis dan Taktis serahkan pada lapisan terdepan (KSEI). shingga kita bisa saling memahami. KSEI memahami bahwa jangan pernah terbesit tuntutan2 yg memang bukan fungsinya. dan Pimpinan2 puncak bisa pula memahami bahwa keunikan lapisan terdepan ini adlah SDM2 "praktis". pastikan bahwa kebijakan2 memang benar2 dapat direalisasikan.
semoga indahnya diskusi ini bisa mewarnai amal dan kerja2 kita di lapangan. sehingga keindahan bisa mewujud jadi kenyataan. senyata-nyatanya. amin

afwan agak acak saya menyampaikannya

Waslm.
Erwin Setiawan
Koordinator Regional FoSSEI Jabodetabek 10/11
www.detectonomicsharia.blogspot.com

Anonim mengatakan...

hatur nuhun pisan kang erwin atas tanggapannya, semoga temen2 juga berfikir positif seperti kang erwin atas tulisan analisis saya ini. saya berharap yang saya tulis tidak mengundang kontroversi atau sekalipun memuat kritik tetap saya kemas secara softly dan kalem :-D. sebelumnya saat menyelesaikan tulisan ini sudah saya tanyakan pada kang william, presnas 4, tentang maqashid dari regional madani dan memang salah satunya desentralisasi regional.

kebijakan desentralisasi ini punya positiv dan negatifnya, berdasarkan pengalaman hampir dua tahun di jadebotabek yang namanya KSEI dalam masa awal masih snagat rentan. jangankan yang abru yang lama aja karena atau disebabkan pergulatan politik kampus bisa tenggelam seperti yang baru saja temukan kasusnya. oleh karena itu temen2 di LISENSI punya cara lain menyikapi pergulatan dan gejolak politik kampus yang apa lagi notabene dilatar belakangi sistem politik student government, tidak condong sama sekali pada salah satu pilihan. kalaupun memilih maka itu pilihan pribadi masing-masing

lain lisensi lain progres demikian seterusnya. oleh karena itu desentralisasi dianggap kebijakan yang paling tepat menyikapi ketidakmerataan itu.

tinggal koregnya harus lebih cerdas dan melihat sisi2 baik di semua kesempatan. kita ini hidup bareng kritik pun disikapi dengan tidak bijak berarti kita belum siap dalam iklim demokrasi dan terbuka itu. apalagi udah mau 2011 saat IFRS diterapkan. mmmhh can't imagine lah

hatur nuhun tanggapannya

ERWINNOMIC mengatakan...

kok nyambung2 ke IFRS.....ta'ashub Akuntansi nieh..:) he bcanda wil

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...