Sabtu, 13 November 2010

Memandang Sebuah Pemberhentian; FoSSEI 2030

“Jangan cari api dan kemabukan dalam anggur mereka
Abad baru tak akan timbul di langit mereka
Nyala hidup akan timbul dari apimu
Dan adalah tugasmu menciptakan dunia baru“
(Muhammad Iqbal, Javid Nama)

Munas telah usai. Masa pun telah bergulir mengiringi pergantian zaman dan era telah berganti. Saat-saat ini sepanjang bulan july merupakan bulan terpenting bagi para punggawa FoSSEI di penjuru negeri karena seonggok momen sejarah dengan apiknya tengah melintas tepat di hadapan kita dan kita memang bukan dari dulu tengah menantinya tetapi mengusahakan agar kita pantas menjadi pribadi yang menyambut momen bersejarah dan tercatat dalam ingatan kolektif umat manusia sepanjang peradaban. Sekali lagi, Munas telah selesai dan baru saja kita saksikan hatrapan bergumpal kemudian seolah-seolah telah menyediakan dirinya merasa pantas untuk memetik momen bersejarah yang agung untuk para Mujaddid yang sedang dididik di dalam madrasah yang kita beri nama Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam. Madrasah ini suatu kali mempunyai cita dan visi yang besar dan menghentak. Padsahal usianya baru 10 tahun. “Menjadi organisasi yang paling kontributif dan kompeten di bidangnya pada tahun 2030” Tidak main-main untuk merealisasikan cita besarnya itu FoSSEI mulai dari Asia Tenggara dengan munasnya di bumi Palembang Sriwijaya.

Adalah Chairul Tanjung pernah mencanangkan visi Indonesia 2030 pada pertengahan tahun 2007, posisi Indonesia pada tahun 2030 hanya akan berada di bawah China, India, Amerika Serikat dan Uni Eropa dan menikmati income per kapita US$ 18 ribu per tahun. HDI pun menyodok di angka 30 dan seperti halnya India, Daya jelajah orang Indonesia malang melintang di tingkat Internasional dan 30 perusahaan Indonesia akan segera tercatat dalam list world class companies di majalah Fortune 500. belum ditambah pendapatan domestik bruto mencapai US$ 1 Trilyun. Di saat yang sama kantor akuntan publik kelas dunia, PriceWaterCoppers juga mengeluarkan prediksi adanya blok ekonomi yang terdiri dari negara-negara yang disebut emerging markets seven yaitu China, India Brasil, Rusia, Indonesia Meksiko dan Turki. Tidak jauh berbeda dari ramalannya Chairul Tanjung dan KAP PriceWater Coppers. Goldman Sach juga merasa perlu memberikan prediksi akan hadirnya blok ekonomi yang segera menggusur kebangkrutan peradaban barat yang diberi nama Next 11 yaitu Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Korea, Meksiko Nigeria, Turki, Pakistan, Filipina, dan Vietnam. Padahal 2030 adalah masa-masa transformasi juga akumulasi dari semua krisis sepanjang dekader. Arus globalisasi yang tidak terkontrol, ledakan populasi, demand bahan bakar yang semakin meningkat ditambah debit air bersih dan sumber daya alam lainnya semakin menipis dan tentunya sistem keuangan global yang telah terintegral dan sangat sensitif dan rentan.

Mungkin ramalan-ramalan dan prediksi dari pelbagai lembaga keuangan dan pelaku bisnis membuat kita sedikit berkerut kening. Negeri yang koyak moyak bagaimana mungkin menduduki posisi 30 besar negara yang perekonomiannya diperhitungkan dunia.Negeri yang enam puluh lima tahun merdeka bagaimana mungkin bisa sejajar dengan India, China, Amerika Serikat dalam hal kualitas sumber daya manusia hingga kualitas kebudayaan peradaban. Maka demikian pula tantangan dan arah yang hendak dituju FoSSEI ke hari esok. Kalau seandainya FoSSEI adalah sebuah klub bola dunia mungkin namanya sejajar dengan kualitas klub bola Korea Selatan saat ini. Pun senandainya orang mengatakan FoSSEI telah gagal dalam membumikan konsep ekonomi langit ke tengah masyarakat maka masyarakat yang beramal dan shalih telah tercipta sedari masih dalam pergerakan mahasiswa ekonomi islam saat ini.

Masa depan global hanya membutuhkan mereka yang less paper dan less time. Artinya masa depan global hanya membutuhkan perubahan yang strategis dan efisien dalam pendayagunaan organisasi. Sedangkan yang hanya mengandalkan aksi turun ke jalan sebagai eksistensi dan program -program unggulannya kemungkinan besar akan segera lewat dan ditelan sejarah. Apa yang diprediksikan oleh chairul tanjung dan sejumlah lembaga keuangan kelas dunia mengenai Indonesia 2030 mengingatkan saya pada sebuah artikel yang ditulis oleh Zaim Uchrowi di kolom resonansi Republika tentang gambaran daya jelajah orang Indonesia yang masih tertinggal. kita selama ini patut bersyukur negeri berpenduduk 230 juta jiwa ini masih bisa selamat dari krisis tahun 2008 yang maha dahsyat. Menenggelamkan perekonomian khususnya perbankan Amerika Serikat dan krisis keuangan Yunani merobohkan kesolidan uni eropa dalam tatanan ekonomi yang ditatanya. Tetapi di lain hal keterlibatan orang Indonesia dalam menenmpati posisi startegis pengambilan keputusan di tingkat internasional masih sangat rendah. Seolah-seolah kita sedang terpenjara oleh pergaulan dunia yang sangat penting dan memiliki bargain untuk manusia Indonesia di dalam negeri sehingga tidak ada celah untuk berjiwa inlander dan inferior.

Maka persolan yang segera FoSSEI hadapi sebagai sebuah pergerakan mahasiswa ekonomi Islam pertama di Indonesia bukan saja persoalan-persolan “dalam negeri” seperti struktur regional nasional, kaderisasi dsb etapi menempatkan Indonesia 2030 dalam perspektif globalitas yang dibingkai oleh dua hal yang selama ini dilupakan oleh para aktivis da’wah: Keislaman dan Keindonesiaan. Ini bukan tentang bagaimana sikap right or wrong is my country. Bukan juga tentang sikap menjadi transnasionalis.ketika kita kehilangan identitas fundamental ini yang muncul adalah ambigu dengan jati diri dan snob dalam soal kebanggan. Ada aktivis da’wah yang hidup di era kiwari begitu mulai memuja Karl Marx, Heigel, Lenin, Macchiavelly, Abraham Maslow, Bernard Lewis dan merasa perlu untuk membuat rancangan road map da’wah dari perspektifnya peradaban barat. Keningnya hitam bekas tahajjud tetapi takbirnya bukan lagi Allah Akbar tapi ‘Demi Proletar” yang lain di seberang sana. Mengibarkan bendera Merah Putih dan mengumandangkan Indonesia Raya serta merta tanpa dalil yang jelas dituding memuja thagut dan antek nasionalis. Bendera Palestina seolah lebih Islami dan syar’i dari merah putih yang sangat sedikit orang tahu lahirnya dari terinispirasi hadits Rasulullah mengenai al ahmar wal abyan.

Ketika FoSSEI menyadari di mana ia lahir dan tumbuh serta worldview apa yang dianutnya FoSSEI takkan lagi canggung berhadapan dengan kondisi globalitas tanpa batas dan kontrol karena keislaman kita adalah alasan mengapa kita berbuat lantang demi dan untuk keindonesiaan yang mengakar!

Jakarta
Willy Mardian (STEI Tazkia)
  • Share On Facebook
  • Digg This Post
  • Stumble This Post
  • Tweet This Post
  • Save Tis Post To Delicious
  • Float This Post
  • Share On Reddit
  • Bookmark On Technorati
Blog Gadgets

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...