Selasa, 15 Februari 2011

Maulid Nabi, Maulid Ekonomi Islam



"Perayaan sejatinya ditransformasikan guna mencari solusi bagi penanggulangan persoalan yang melilit bangsa."

MAULID Nabi, begitulah fenomena adat-kebiasaan kaum muslimin memperingati hari lahir Muhammad Saw. yang jatuh pad 12 Rabiul Awal. Beliau (Nabi Muhammad Saw.) ialah manusia Agung sepanjang masa yang patut diteladani umat Islam. Betapa tidak, beliau merupakan figure ideal yang berkualitas ketika memimpin umat. Adil, empatik, cerdas, bijaksana, dan jujur memimpin sehingga kebijakan-kebijakannya kerap membebaskan rakyat dari penderitaan. Secara etimologis maulid atau milad adalah hari kelahiran. Maka, ketika dipahami secara subtansial, maulid nabi berarti ekspresi melahirkan kembali penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw dengan mengamalkan ajarannya.

Dalam catatan sejarah Islam, peringatan hari lahir nabi atau maulid nabi — dicetuskan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193) – adalah medium pembangkit semangat juang muslimin di medan tempur kala itu. Persoalannya, kini kita tidak lagi berada di zaman peperangan fisik dalam menghadapi musuh. Namun, bukan berarti peringatan maulid nabi lantas dihilangkan. Perayaan sejatinya ditransformasikan guna mencari solusi bagi penanggulangan persoalan yang melilit bangsa.


Maka, setiap tanggal 12 Rabiul Awal ialah moment tepat untuk menyuntikkan kembali semangat kenabian dalam diri. Sebab, bagi umat Islam, baginda Rasul Saw. ialah sosok teladan yang mampu menancapkan semangat perubahan dalam diri seluruh kaum muslimin; agar dapat keluar dari kondisi tidak baik menuju kondisi lebih baik. Penumpukan kekayaan, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan ekonomi, amoralitas, korupsi, kolusi, dan nepotisme; semuanya diberantas karena hal itu diisyaratkan dalam doktrin langit.

Semangat Nabi Muhammad Saw. dalam melakukan perubahan konstruktif, harus mulai kita ejawantahkan dalam konteks kekinian. Di mana zaman penuh ketidakadilan yang didominasi ekonomi kapitalis-borjuis hingga kemiskinan kian menggurita. Karena itulah, formula baru memerangi musuh (ekonomi kapitalis-borjuis) patut dipikirkan. Tentunya dengan tidak mengabaikan spirit juang yang dicontohkan Rasulullah Saw. Di dalam Al-Quran dijelaskan: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang melakukan perubahan akan nasibnya,” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).

Setiap kali tiba momentum maulid nabi, diharapkan memberi spirit bagi umat Islam untuk melakukan perubahan di bidang sosial-ekonomi. Inilah mengapa Ibnu Khaldun berpendapat, kemajuan ekonomi merupakan pilar kemajuan peradaban Islam. Kita tahu, banyak upaya transformatif Nabi Muhammad Saw. dalam mereformasi ekonomi sesuai perubahan zaman. Upaya itu, misalnya, dengan mengatur secara ekonomis bidang moneter, fiskal, mekanisme pasar (harga), peran Negara menciptakan keadilan (hisbah), membangun etos entrepreneurship, menegakkan etika bisnis, memberantas kemiskinan, melakukan pencatatan (akuntansi), dan pendirian Baitul Mal.

Beliau juga mereformasi pelaksanaan bisnis dari pelbagai praktik fasad (rusak) dengan cara yang baik dan berkeadilan. Misalnya, beliau menggagas praktik bisnis yang di dalamnya terdapat praktik maysir atau spekulasi agar segera dibersihkan. Dari reformasi yang dilakukan Muhammad Saw., praktik riba mendapat perhatian utama darinya. Sehingga, untuk umat sekarang, ekonomi berbaju syariah seakan menjadi tren ekonomi Indonesia. Itu semua dilakukan dalam rangka perubahan menuju kondisi ekonomi umat yang lebih baik. Jadi, ada semacam optimisme keberhasilan ekonomi non-kapitalis di masa depan dengan tren lembaga keuangan atau perusahaan berbasis syariah ini.

Kini konsep ekonomi Islam itu lebih banyak diadofsi lembaga-lembaga keuangan; seperti perbankan, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan MLM yang semuanya menyertakan landasan syariah. Seorang guru marketing negeri ini – Hermawan Kartajaya – menyebut praktik ekonomi seperti ini dengan bisnis berbasis kejujuran (amanah). Allah Swt., berfirman: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Q.S. Al Muthaffifin [83]: 1-6).

Konsep ekonomi Islam bukan hanya berorientasi materialitas, tetapi juga spiritualitas. Oleh karena itu, keuntungan yang diperoleh mesti memiliki kemashlahatan bagi orang banyak. Seiring keuntungan yang diperoleh, selama itu juga, perusahaan yang berbasis syariah atau spiritualisasi ekonomi, harus berkontribusi dalam memberantas kemiskinan. Sebab, makna kedermawanan dalam ajaran Islam adalah ketika kita memiliki harta yang bermanfaat untuk orang banyak. Ekonomi berkeadilan yang diajarkan Nabi Muhammad Saw., bukan memonopoli keuntungan seperti halnya perusahaan atau lembaga keuangan kapitalis.

Karena itu, rajinlah membentuk kebiasaan diri untuk sudi berbagi dengan sesama. Menganggarkan dana sosial dalam skala besar adalah upaya transformasi ekonomi berbasis Islam guna memberantas kemiskinan. Maka, ketika kita berjumpa dengan moment maulid nabi, membangkitkan kembali spirit ekonomi berkeadilan yang diajarkan Nabi adalah hal utama yang mesti kita ejawantahkan dalam praktik muamalah dengan sesama manusia. Bukankah Al-Quran menjelaskan, “Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad)” (QS. Ali-Imran [3]: 31). Wallahua’lam


Artikel ini sudah dimuat di HU Republika Biro Jawa Barat, RABU, 09/02/2011.
Ditulis Oleh : Sukron Abdilah

  • Share On Facebook
  • Digg This Post
  • Stumble This Post
  • Tweet This Post
  • Save Tis Post To Delicious
  • Float This Post
  • Share On Reddit
  • Bookmark On Technorati
Blog Gadgets

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...